Rabu, 04 Juni 2008

ADAB BERNASEHAT

Republika, Selasa, 03 Juni 2008



Rasulullah SAW biasa menggelari para sahabatnya dengan gelar yang baik sesuai dengan karakter dan sifat-sifat mereka. Abu Bakar digelari Asshiddiq karena keyakinannya yang kuat dalam membenarkan ucapan Nabi. Umar dijuluki Alfaruq karena ketegasan sikapnya dalam membedakan yang haq dan yang batil. Hamzah digelari 'Singa Padang Pasir' dan Khalid bin Walid dijuluki 'Pedang Allah'.

Ketika Rasulullah melihat kecenderungan karakter Abu Dzar Al Ghifari yang radikal, suatu hari Beliau bertanya, ''Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk dirinya sendiri?'' Abu Dzar menjawab, ''Demi yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku.'' Rasul berkata, ''Maukah kamu aku beri pelajaran yang lebih baik dari itu?'' ''Apakah itu, ya Rasul?'' Beliau bersabda, ''Yaitu, bersabarlah sampai kamu menemuiku terlebih dahulu.''

Ketika Abu Dzar melihat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, hampir ia mengeluarkan pedangnya untuk memperbaiki keadaan hingga ia teringat pesan Rasul. Maka, ia memilih menggunakan lisannya untuk menasihati dan memperbaiki apa yang bisa diperbaiki dan bersabar terhadap apa yang belum bisa diperbaiki.

Menasihati untuk memperbaiki keadaan adalah mulia. Tapi, kebaikan itu bisa menjadi buruk apabila tidak disampaikan secara benar. Ada adab-adab yang harus dipenuhi, di antaranya dengan tutur kata lembut dan kata-kata yang manis.

Si penerima nasihat, apalagi dengan posisinya yang tinggi sebagai pemimpin atau orang yang berpengaruh, hendaknya tidak pula menganggap nasihat atau bentuk lainnya berupa teguran, masukan, dan kritik sebagai sebuah serangan bagi eksistensi dirinya. Bagi seorang mukmin sejati, sepahit apa pun nasihat kalau itu benar dan jujur, haruslah ditanggapi sebagai sebuah bentuk perhatian yang berharga. Bersikaplah merendah ketika menerima nasihat dan masukan serta kritik, dengan menerima kejujuran yang keluar dari lisan penasihat tersebut.
Seorang sahabat pernah mengatakan pada khalifah Umar Ibnu Khaththab bahwa ia akan meluruskan khalifah dengan pedang bila didapatinya penyimpangan pada Umar. Umar menerima sikap tegas itu dengan gembira karena baginya itu bukan ancaman, tapi nasihat yang tajam dan tegas agar tak terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam kepemimpinannya.

(Ridho Adriansyah )

Senin, 02 Juni 2008

BERPIKIR DAN BERTINDAK DEMI HARI ESOK

Republika, Senin, 29 Maret 2004


Jika Anda lebih menginginkan keberhasilan, Anda dapat memilikinya. Masa depan Anda dapat menjadi lebih cerah daripada semua yang Anda inginkan. Karena cara berpikir Anda mencerminkan cara Anda bertindak. Dan cara Anda bertindak menentukan bagaimana masa depan yang akan terbentang di depan Anda. (Vernon Howard).

Pada suatu hari Bahlul sedang berjalan-jalan di sebuah jalan di kota Basrah. Tiba-tiba, ia melihat anak-anak tengah bermain dengan buah kemiri dan pala. Namun, di sana ada seorang anak yang hanya menonton teman-temannya sambil menangis. Bahlul menghampirinya dan berkata dalam hati, "Anak ini bersedih karena tidak memiliki mainan seperti yang dimiliki oleh anak-anak yang lain." Kemudian Bahlul berkata kepadanya, "Anakku, mengapa kamu menangis? Maukah aku belikan buah kemiri dan pala, sehingga kamu dapat bermain dengan teman-temanmu?"
Anak itu menatap Bahlul, lalu menjawab: "Hai orang yang kurang cerdas, kita diciptakan bukan untuk bermain-main." "Lalu untuk apa kita diciptakan?" tanya Bahlul.Anak kecil itu menjawab, "Untuk belajar dan beribadah." Bahlul bertanya lagi, "Dari mana kamu memperoleh jawaban itu? Kiranya Allah memberkatimu".
Dia menjawab, "Dari firman Allah dalam QS Al-Mu'minun ayat 116, Apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakanmu untuk bermain-main dan bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?"
Kisah antara Bahlul dan seorang anak itu, memberikan pelajaran bagi siapa pun. Bahwa manusia diciptakan untuk belajar dan beribadah. Demikian pula halnya dengan kehidupan berkeluarga. Kita tentu semata-mata harus membangunnya di atas dasar koridor belajar dan beribadah kepada Allah.

Betul, kalau setiap anak itu butuh bermain dalam hidupnya. Namun, tentu bermain yang mengandung dan mengarahkan si anak kepada proses belajar membangun aktivitas beribadah kepada Allah SWT. Apalagi, saat ini di sekitar kita begitu banyak tersebar aneka fasilitas dan informasi bermain yang ditawarkan pada anak-anak. Yang kadangkala kalau orang tua tidak hati-hati, permainan itu tidak islami dan bisa merusak akidah anak kita.

Di sinilah, barangkali perlunya peran serta dan kemampuan pola kebijakan orang tua dalam memilih teman bermain anak-anaknya. Dan sebenarnya, inti dari belajar itu adalah berpikir dan bertindak. Bukankah, perilaku yang diperbuat oleh tiap manusia, semata-mata diawali dari sebuah niat dan pola pikir dalam hati dan akalnya. Untuk itu, tiap orang tua dituntut agar niat dan akal anak-anaknya harus ditata dan dibina dengan baik agar melahirkan perbuatan yang dapat menjadi bekal dan penyelamat dalam menyongsong masa depannya.

Jadi, berpikir dan bertindak ini jelas-jelas akan menjadi kunci keberhasilan dari apa-apa yang kita inginkan, termasuk dalam pembentukan keluarga sakinah. Dalam hal ini, Vernon Howard mengungkapkan, jika Anda lebih menginginkan keberhasilan, Anda dapat memilikinya. Masa depan Anda dapat menjadi lebih cerah daripada semua yang Anda inginkan. Karena cara berpikir Anda mencerminkan cara Anda bertindak. Dan cara Anda bertindak menentukan bagaimana masa depan yang akan terbentang di depan Anda.

Untuk itu, bangunlah setiap saat pola pikir dan tindakan anak-anak kita sesuai etika dan perilaku islami. Karena menurut John Kehoe, melalui pengulangan, pikiran menjadi terpusat dan terarah serta kemampuannya dapat berlipat ganda setiap saat. Semakin sering diulang, semakin banyak tenaga dan kekuatan yang terkumpul dan semakin siap untuk diwujudkan.
Akhirnya, tidak ada jalan lain untuk menyongsong hari esok, selain setiap anggota keluarga Muslim harus betul-betul menyadari bahwa dalam hidup ini, kita harus memperhatikan bekal-bekal apa saja yang telah dipersiapkan dan diperbuat bagi kehidupan di hari esok. Allah berfirman, "dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)" (QS. Al-Hasyr: 18). Wallahu a'lam.

( Arda Dinata )

BERPIKIR DAN BERTINDAK DEMI HARI ESOK

Republika, Senin, 29 Maret 2004


Jika Anda lebih menginginkan keberhasilan, Anda dapat memilikinya. Masa depan Anda dapat menjadi lebih cerah daripada semua yang Anda inginkan. Karena cara berpikir Anda mencerminkan cara Anda bertindak. Dan cara Anda bertindak menentukan bagaimana masa depan yang akan terbentang di depan Anda. (Vernon Howard).

Pada suatu hari Bahlul sedang berjalan-jalan di sebuah jalan di kota Basrah. Tiba-tiba, ia melihat anak-anak tengah bermain dengan buah kemiri dan pala. Namun, di sana ada seorang anak yang hanya menonton teman-temannya sambil menangis. Bahlul menghampirinya dan berkata dalam hati, "Anak ini bersedih karena tidak memiliki mainan seperti yang dimiliki oleh anak-anak yang lain." Kemudian Bahlul berkata kepadanya, "Anakku, mengapa kamu menangis? Maukah aku belikan buah kemiri dan pala, sehingga kamu dapat bermain dengan teman-temanmu?"
Anak itu menatap Bahlul, lalu menjawab: "Hai orang yang kurang cerdas, kita diciptakan bukan untuk bermain-main." "Lalu untuk apa kita diciptakan?" tanya Bahlul.Anak kecil itu menjawab, "Untuk belajar dan beribadah." Bahlul bertanya lagi, "Dari mana kamu memperoleh jawaban itu? Kiranya Allah memberkatimu".
Dia menjawab, "Dari firman Allah dalam QS Al-Mu'minun ayat 116, Apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakanmu untuk bermain-main dan bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?"

Kisah antara Bahlul dan seorang anak itu, memberikan pelajaran bagi siapa pun. Bahwa manusia diciptakan untuk belajar dan beribadah. Demikian pula halnya dengan kehidupan berkeluarga. Kita tentu semata-mata harus membangunnya di atas dasar koridor belajar dan beribadah kepada Allah.

Betul, kalau setiap anak itu butuh bermain dalam hidupnya. Namun, tentu bermain yang mengandung dan mengarahkan si anak kepada proses belajar membangun aktivitas beribadah kepada Allah SWT. Apalagi, saat ini di sekitar kita begitu banyak tersebar aneka fasilitas dan informasi bermain yang ditawarkan pada anak-anak. Yang kadangkala kalau orang tua tidak hati-hati, permainan itu tidak islami dan bisa merusak akidah anak kita.

Di sinilah, barangkali perlunya peran serta dan kemampuan pola kebijakan orang tua dalam memilih teman bermain anak-anaknya. Dan sebenarnya, inti dari belajar itu adalah berpikir dan bertindak. Bukankah, perilaku yang diperbuat oleh tiap manusia, semata-mata diawali dari sebuah niat dan pola pikir dalam hati dan akalnya. Untuk itu, tiap orang tua dituntut agar niat dan akal anak-anaknya harus ditata dan dibina dengan baik agar melahirkan perbuatan yang dapat menjadi bekal dan penyelamat dalam menyongsong masa depannya.

Jadi, berpikir dan bertindak ini jelas-jelas akan menjadi kunci keberhasilan dari apa-apa yang kita inginkan, termasuk dalam pembentukan keluarga sakinah. Dalam hal ini, Vernon Howard mengungkapkan, jika Anda lebih menginginkan keberhasilan, Anda dapat memilikinya. Masa depan Anda dapat menjadi lebih cerah daripada semua yang Anda inginkan. Karena cara berpikir Anda mencerminkan cara Anda bertindak. Dan cara Anda bertindak menentukan bagaimana masa depan yang akan terbentang di depan Anda.

Untuk itu, bangunlah setiap saat pola pikir dan tindakan anak-anak kita sesuai etika dan perilaku islami. Karena menurut John Kehoe, melalui pengulangan, pikiran menjadi terpusat dan terarah serta kemampuannya dapat berlipat ganda setiap saat. Semakin sering diulang, semakin banyak tenaga dan kekuatan yang terkumpul dan semakin siap untuk diwujudkan.
Akhirnya, tidak ada jalan lain untuk menyongsong hari esok, selain setiap anggota keluarga Muslim harus betul-betul menyadari bahwa dalam hidup ini, kita harus memperhatikan bekal-bekal apa saja yang telah dipersiapkan dan diperbuat bagi kehidupan di hari esok. Allah berfirman, "dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)" (QS. Al-Hasyr: 18). Wallahu a'lam.

( Arda Dinata )

MEMBONGKAR KORUPSI PARLEMENTER

Media Indonesia, Rabu, 07 Mei 2008

Sukardi Hasan, Associate Director Freedom Foundation, Jakarta

Membongkar Korupsi Parlementer

Ditangkapnya anggota DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Al Amin Nasution oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berujung pada upaya penggeledahan ruang kerja Al Amin di Gedung DPR RI. Namun, keinginan penggeledahan itu baru terlaksana Senin (28/3) setelah pekan lalu keinginan KPK itu terpaksa diurungkan karena pihak DPR melarangnya. Aksi cleaning dilakukan KPK untuk menggeledah DPR sebagai lembaga terhormat yang sejak lama dikenal sebagai lembaga yang tersentuh oleh cengkeram hukum. Bahkan, ada anggota DPR yang sempat menginginkan agar KPK yang dinilai sudah menjadi lembaga superbody ini ditinjau kembali kekuasaannya. Ada juga wacana pembubaran KPK. Dalam era keterbukaan sejak reformasi bergulir, sudah senyatanya bahwa tak ada lembaga yang sakral dan kebal hukum, termasuk lembaga setingkat parlemen. Sebuah keharusan digeledah guna mewujudkan sebuah sistem negara yang bebas dari tindak penyelewengan berupa korupsi, kolusi, dan transaksi kekuasaan. Berdasarkan data yang tercatat di Transparansi internasional (TI), parlemen memang salah satu lembaga yang paling subur dengan tindakan korupsi. Sangat logis kiranya, parlemen sebagai sebuah lembaga memiliki kekuasaan dalam melakukan fungsi legislasi dan kontrol atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan lembaga eksekutif. Usaha yang dilakukan KPK selama ini untuk memusnahkan korupsi cukup tepat. Parlemen yang memiliki kekuasaan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik tentu menjadi medium bagi terbukanya keran suap dan budaya sogok baik dari pihak swasta pun lembaga eksekutif. Upaya KPK untuk menggeledah parlemen adalah langkah strategis untuk memberantas korupsi yang dikenal surga para koruptor. Parlemen dengan segala kekuasaannya adalah episentrum dari segala tindakan penyelewengan dan penggelapan dana negara. Kasus suap yang dilakukan anggota DPR RI atau parlemen, bukanlah yang pertama tercium media. Tapi, masih banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan di daerah. Mereka melakukannya secara masif dan terorganisasi melalui penyelewengan dana APBD. Sungguh ironis negeri ini, di tengah keterpurukan, keterbelakangan dan kebodohan yang melanda negeri ini. Elite kita disibukkan dengan pengurasan kekayaan dan harta rakyat untuk kepentingan pribadi. Di manakah moralitas dan sensibilitas kekuasaan akan realitas politik yang kian terpuruk? Bilakah sistem multipartai mengakhiri kebisuan akan ke-jalut-an kuasa? Metamorfosis lembaga
Berdasarkan catatan yang ada, secara nasional, tidak kurang dari 300 anggota DPRD terlibat dalam penyelewengan dana APBD berupa tindak pidana korupsi dan suap. Jumlah itu, sebagian besar sudah berada dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Hampir dapat dipastikan, peran parlemen bermetamorfosis dan fungsi pengawasan menjadi instrumen akumulasi kekayaan semata. Karena itu, tidak mengherankan jika saat pencalonan, para caleg rela menghamburkan uang dengan harapan saat terpilih mereka bisa mendapat untung yang lebih besar. Seorang ilmuwan politik berkebangsaan Argentina Atilio Boron pernah menggambarkan hilir sejarah percaturan politik adalah uang. Hal itulah, yang terlihat dalam percaturan politik kita kini. Apalagi menjelang perebutan singgasana kekuasaan April tahun mendatang. Berpolitik di Indonesia memang ibarat dagang, Bukan politik dalam pengertian modern dengan politisi hadir sebagai negarawan yang rela bekerja untuk rakyat banyak. Lebih fatal lagi perilaku korup wakil rakyat seolah diterima sebagai sesuatu yang wajar dan dipertontonkan secara kasar di mata rakyat. Pascajatuhnya rezim Orba, suara demokratisasi menjadi tuntutan yang tak tertawarkan sebagai antitesis sistem otoriter. Pada masa Orba yang terjadi adalah monovocal, artinya kesatuan sumber kuasa di tangan eksekutif. Parlemen hanya menjadi lembaga dalam kebisuan dan cengkeram eksekutif belaka. Sebaliknya orde reformasi, kekuasaan menjadi polyvocal, yaitu kekuasaan menjadi hak milik semuanya, semua pihak berhak menyuarakan kepentingannya di mata publik. Optimalisasi peran trio kuasa adalah tuntutan dari demokrasi sebagai pilar terwujudnya demokrasi yang sehat. Yang menyuguhkan check and balance dalam setiap kebijakan publik. Akan tetapi, sewindu lebih orde reformasi, yang terjadi adalah pembusukan trio kekuasaan lewat laku korupsi dan suap dalam rahim ketiga lembaga kekuasaan. Akhirnya, yang terjadi bukanlah mekanisme check and balance, melainkan sharing dan pembagian komisi atau uang transaksi dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik. Itulah yang dilakukan Al Amin Nur Nasution. Singkatnya, tidak ada legislasi di tingkat parlemen, tiadanya yudikasi di tingkat lembaga hukum dan absennya eksekusi di tingkat eksekutif untuk kepentingan rakyat. Yang tampak nyata hanyalah transaksi dan eksekusi untuk kepentingan komunal dan elite. Memang terjadi komunikasi politik di antara ketiganya, tapi sebatas untuk mengabadikan kepentingan masing-masing. Indonesia yang memasuki alam demokrasi dan penganut sistem multipartai serta pasar bebas yang sering kali diyakini akan mengurangi ruang hidup korupsi karena melahirkan persaingan politik dan bisnis yang menuntut akuntabilitas publik justru tidak terjadi di Indonesia. Karena realitas yang berkembang malah memperlihatkan tingkat korupsi yang semakin memprihatinkan. Praktik pertukaran uang dengan jabatan, sogok-menyogok, penyimpangan anggaran negara, dan lainnya dilakukan secara terbuka dan tanpa malu. Fakta itu tentu sangat mencengangkan karena terjadi di alam demokrasi multipartai yang diyakini banyak pihak sebagai sistem yang dapat membelenggu ruang hidup korupsi. Mengembalikan peran Apa yang terjadi dalam tubuh lembaga-lembaga negara kita adalah imbas dari lemahnya monitoring masyarakat atas apa yang terjadi selama ini. Ketika eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai lembaga yang menunjang bagi transformasi kehidupan sosial serta perbaikan gizi dan kewarasan bangsa, kekeringan dan kebisuan akan kepentingan rakyat, upaya revitalisasi peran kelembagaan negara adalah sebuah keharusan. Untuk mengakhiri episode keterpurukan yang diakibatkan oleh hilangnya kredibilitas dan akuntabilitas trio kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Maka hendaknya, bangsa ini menyadari akan kekeliruan laku dan perannya yang didasarkan pada keserakahan dan ketamakan sesaat atas nama diri. Optimalisasi dan revitalisasi peran kelembagaan adalah sebuah kemestian bagi terbentuknya tatanan kenegaraan yang berkeadilan sosial. Jika tidak, maka apatisme publik akan menyelimuti hari-hari bangsa ini. Selain itu, partisipasi dan kritik masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang bersih sangat menentukan cita-cita good governance. Dalam hal ini, peran organisasi sosial-keagamaan sangat dinantikan perannya dalam proses monitoring kekuasaan yang cenderung mengalami pembusukan politik kebangsaan. Jika iktikad memperbaiki peran dan kualitas kerja lembaga kenegaraan dibarengi dengan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kelembagaan, bukan hal yang masygul kiranya celah/ruang hidup korupsi dan segala bentuk penyelewengan negara akan sirna. Kita pun ramai-ramai menyeru, "Selamat jalan korupsi parlementer!

INDONESIA HADAPI ANCAMAN DEPRESI GLOBAL

Republika, Senin, 02 Juni 2008 19:20:00

Pengamat: Indonesia Hadapi Ancaman Depresi Global


Pengamat ekonomi, Iman Sugema menyatakan, negara-negara berkembang termasuk Indonesia akan menghadapi ancaman depresi global yang cukup berat yang kemungkinan berlangsung hingga 2010."Spekulasi di bursa komoditi sudah sangat brutal dan itu berbahaya bagi negara-negara berkembang dan miskin karena berarti biaya hidup menjadi lebih berat," kata Iman di Jakarta, Senin (2/6).Menurut dia, kondisi itu selanjutnya akan memicu, terutama negara berkembang dan miskin, terjadinya krisis sosial, ekonomi, dan politik."Tahun 2009, kelihatannya dunia akan memasuki global depresi, kita tidak bicara lagi soal resesi tetapi depresi artinya resesi yang sangat dalam kemungkinan bisa berlangsung hingga 2010," katanya.Ia menyebutkan, kebijakan negara-negara maju terkait dengan suku bunga justru memicu lubernya likuiditas global sehingga juga memicu inflasi global yang melonjak.Khusus terhadap Indonesia, Iman mengingatkan agar pemerintah dan DPR tidak merencanakan APBN terlalu optimis seperti tahun 2008 ini.Selain itu juga harus ada program-program yang mampu menyerap tenaga kerja karena di masa depresi itu korban pertama adalah para pekerja yang tidak memiliki skill sehingga pemerintah harus mendorong dan menstimulus penciptaan lapangan kerja terutama padat karya."Itu bisa mulai dari proyek infrastruktur, rumah-rumah sederhana, pengembangan lahan untuk petani, dan lainnya, Ini diharapkan bisa meredam sedikit dampak gejolak ekonomi global," katanya.

antara/is