Media Indonesia, Rabu, 07 Mei 2008
Sukardi Hasan, Associate Director Freedom Foundation, Jakarta
Membongkar Korupsi Parlementer
Ditangkapnya anggota DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Al Amin Nasution oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berujung pada upaya penggeledahan ruang kerja Al Amin di Gedung DPR RI. Namun, keinginan penggeledahan itu baru terlaksana Senin (28/3) setelah pekan lalu keinginan KPK itu terpaksa diurungkan karena pihak DPR melarangnya. Aksi cleaning dilakukan KPK untuk menggeledah DPR sebagai lembaga terhormat yang sejak lama dikenal sebagai lembaga yang tersentuh oleh cengkeram hukum. Bahkan, ada anggota DPR yang sempat menginginkan agar KPK yang dinilai sudah menjadi lembaga superbody ini ditinjau kembali kekuasaannya. Ada juga wacana pembubaran KPK. Dalam era keterbukaan sejak reformasi bergulir, sudah senyatanya bahwa tak ada lembaga yang sakral dan kebal hukum, termasuk lembaga setingkat parlemen. Sebuah keharusan digeledah guna mewujudkan sebuah sistem negara yang bebas dari tindak penyelewengan berupa korupsi, kolusi, dan transaksi kekuasaan. Berdasarkan data yang tercatat di Transparansi internasional (TI), parlemen memang salah satu lembaga yang paling subur dengan tindakan korupsi. Sangat logis kiranya, parlemen sebagai sebuah lembaga memiliki kekuasaan dalam melakukan fungsi legislasi dan kontrol atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan lembaga eksekutif. Usaha yang dilakukan KPK selama ini untuk memusnahkan korupsi cukup tepat. Parlemen yang memiliki kekuasaan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik tentu menjadi medium bagi terbukanya keran suap dan budaya sogok baik dari pihak swasta pun lembaga eksekutif. Upaya KPK untuk menggeledah parlemen adalah langkah strategis untuk memberantas korupsi yang dikenal surga para koruptor. Parlemen dengan segala kekuasaannya adalah episentrum dari segala tindakan penyelewengan dan penggelapan dana negara. Kasus suap yang dilakukan anggota DPR RI atau parlemen, bukanlah yang pertama tercium media. Tapi, masih banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan di daerah. Mereka melakukannya secara masif dan terorganisasi melalui penyelewengan dana APBD. Sungguh ironis negeri ini, di tengah keterpurukan, keterbelakangan dan kebodohan yang melanda negeri ini. Elite kita disibukkan dengan pengurasan kekayaan dan harta rakyat untuk kepentingan pribadi. Di manakah moralitas dan sensibilitas kekuasaan akan realitas politik yang kian terpuruk? Bilakah sistem multipartai mengakhiri kebisuan akan ke-jalut-an kuasa? Metamorfosis lembaga
Berdasarkan catatan yang ada, secara nasional, tidak kurang dari 300 anggota DPRD terlibat dalam penyelewengan dana APBD berupa tindak pidana korupsi dan suap. Jumlah itu, sebagian besar sudah berada dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Hampir dapat dipastikan, peran parlemen bermetamorfosis dan fungsi pengawasan menjadi instrumen akumulasi kekayaan semata. Karena itu, tidak mengherankan jika saat pencalonan, para caleg rela menghamburkan uang dengan harapan saat terpilih mereka bisa mendapat untung yang lebih besar. Seorang ilmuwan politik berkebangsaan Argentina Atilio Boron pernah menggambarkan hilir sejarah percaturan politik adalah uang. Hal itulah, yang terlihat dalam percaturan politik kita kini. Apalagi menjelang perebutan singgasana kekuasaan April tahun mendatang. Berpolitik di Indonesia memang ibarat dagang, Bukan politik dalam pengertian modern dengan politisi hadir sebagai negarawan yang rela bekerja untuk rakyat banyak. Lebih fatal lagi perilaku korup wakil rakyat seolah diterima sebagai sesuatu yang wajar dan dipertontonkan secara kasar di mata rakyat. Pascajatuhnya rezim Orba, suara demokratisasi menjadi tuntutan yang tak tertawarkan sebagai antitesis sistem otoriter. Pada masa Orba yang terjadi adalah monovocal, artinya kesatuan sumber kuasa di tangan eksekutif. Parlemen hanya menjadi lembaga dalam kebisuan dan cengkeram eksekutif belaka. Sebaliknya orde reformasi, kekuasaan menjadi polyvocal, yaitu kekuasaan menjadi hak milik semuanya, semua pihak berhak menyuarakan kepentingannya di mata publik. Optimalisasi peran trio kuasa adalah tuntutan dari demokrasi sebagai pilar terwujudnya demokrasi yang sehat. Yang menyuguhkan check and balance dalam setiap kebijakan publik. Akan tetapi, sewindu lebih orde reformasi, yang terjadi adalah pembusukan trio kekuasaan lewat laku korupsi dan suap dalam rahim ketiga lembaga kekuasaan. Akhirnya, yang terjadi bukanlah mekanisme check and balance, melainkan sharing dan pembagian komisi atau uang transaksi dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik. Itulah yang dilakukan Al Amin Nur Nasution. Singkatnya, tidak ada legislasi di tingkat parlemen, tiadanya yudikasi di tingkat lembaga hukum dan absennya eksekusi di tingkat eksekutif untuk kepentingan rakyat. Yang tampak nyata hanyalah transaksi dan eksekusi untuk kepentingan komunal dan elite. Memang terjadi komunikasi politik di antara ketiganya, tapi sebatas untuk mengabadikan kepentingan masing-masing. Indonesia yang memasuki alam demokrasi dan penganut sistem multipartai serta pasar bebas yang sering kali diyakini akan mengurangi ruang hidup korupsi karena melahirkan persaingan politik dan bisnis yang menuntut akuntabilitas publik justru tidak terjadi di Indonesia. Karena realitas yang berkembang malah memperlihatkan tingkat korupsi yang semakin memprihatinkan. Praktik pertukaran uang dengan jabatan, sogok-menyogok, penyimpangan anggaran negara, dan lainnya dilakukan secara terbuka dan tanpa malu. Fakta itu tentu sangat mencengangkan karena terjadi di alam demokrasi multipartai yang diyakini banyak pihak sebagai sistem yang dapat membelenggu ruang hidup korupsi. Mengembalikan peran Apa yang terjadi dalam tubuh lembaga-lembaga negara kita adalah imbas dari lemahnya monitoring masyarakat atas apa yang terjadi selama ini. Ketika eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai lembaga yang menunjang bagi transformasi kehidupan sosial serta perbaikan gizi dan kewarasan bangsa, kekeringan dan kebisuan akan kepentingan rakyat, upaya revitalisasi peran kelembagaan negara adalah sebuah keharusan. Untuk mengakhiri episode keterpurukan yang diakibatkan oleh hilangnya kredibilitas dan akuntabilitas trio kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Maka hendaknya, bangsa ini menyadari akan kekeliruan laku dan perannya yang didasarkan pada keserakahan dan ketamakan sesaat atas nama diri. Optimalisasi dan revitalisasi peran kelembagaan adalah sebuah kemestian bagi terbentuknya tatanan kenegaraan yang berkeadilan sosial. Jika tidak, maka apatisme publik akan menyelimuti hari-hari bangsa ini. Selain itu, partisipasi dan kritik masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang bersih sangat menentukan cita-cita good governance. Dalam hal ini, peran organisasi sosial-keagamaan sangat dinantikan perannya dalam proses monitoring kekuasaan yang cenderung mengalami pembusukan politik kebangsaan. Jika iktikad memperbaiki peran dan kualitas kerja lembaga kenegaraan dibarengi dengan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kelembagaan, bukan hal yang masygul kiranya celah/ruang hidup korupsi dan segala bentuk penyelewengan negara akan sirna. Kita pun ramai-ramai menyeru, "Selamat jalan korupsi parlementer!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar