Senin, 21 Juli 2008

Republika, 21 Juli 2008
Presiden Bisa Keluarkan Dekrit
Cendekiawan Ridwan Saidi menyatakan, presiden dapat mengeluarkan dekrit untuk menyelamatkan negara meski kewenangannya di bawah Mahkamah Konstitusi. Dekrit bisa dikeluarkan presiden jika keberadaan UUD 1945 hasil amendemen dan pelaksanaannya menjurus dapat membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
''Berpijak pada Pasal 9 UUD 1945, presiden dapat melakukan tindakan penyelamatan negara, dalam rangka memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya,'' tegas tokoh Betawi dan mantan angota MPR/DPR itu, dalam `Silaturahim Cendekiawan Indonesia: Refleksi 63 tahun NKRI', di Jakarta, Ahad (20/7).
Dalam acara itu, sejumlah tokoh senior hadir, antara lain Kwik Kian Gie, Tyasno Sudharto, Achadi, Hartojo Winjowijoto, I Gde Djaksa, dan Amin Aryoso.Perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali, menurut Ridwan, mengandung pengaturan kelembagaan tinggi negara yang rancu. Ridwan Saidi mengambil contoh kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melebihi presiden dan DPR, sedangkan kewenangan DPR memasuki ranah eksekutif. Ridwan juga berpendapat, Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 tentang kembali kepada UUD 1945, sebenarnya masih tetap berlaku. Karena itu, dekrit bisa saja tak perlu dikeluarkan untuk memberlakukan dekrit sebelumnya, karena Keppres 150/1959 masih tetap berlaku dan tidak dikeluarkan dari Lembaran Negara.
Akan tetapi, jika dekrit dikeluarkan, alasan kuatnya adalah berdasarkan UUD 1945 Perubahan tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. MPR yang dulu sebagai lembaga tertinggi, kini berstatus lembaga negara yang punya kedudukan setara dengan lembaga kepresidenan. Oleh karena itu, dalam kedudukannya sebagai kepala negara maka presiden berhak mengeluarkan dekrit demi penyelamatan negara. Sedangkan, diktum dekrit pun mestinya bersahaja, yaitu menyatakan UUD 1945 Perubahan tidak berlaku.
Proses perusakanSementara itu, mantan menko Perekonomian Kwik Kian Gie juga berpendapat, delapan tahun era reformasi ternyata membuahkan proses perusakan. Indonesia tidak lagi nation state, tetapi sudah menjadi corporate state yang membuat hampir semua perusahaan di Indonesia bisa dimiliki pihak asing.''Tapi, masalahnya adalah bagaimana rakyat bisa digerakkan dalam melaksanakan revolusi untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Sebab, selama ini rakyat acapkali dikecewakan sehingga mereka apatis,'' ujar Kwik.Untuk itulah, tegas Kwik, para kader bangsa harus melakukan pencerahan agar rakyat kembali sadar bahwa mereka punya hak dan kewajiban terhadap bangsa dan negara.zam/ant

Tidak ada komentar: